Kamis, 21 Juli 2016

Karya Laris, Seni Mati

Terima kasih sudah mau baca cerita saya yang ke 4!
Sebelumnya, saya dapat inspirasi dari tema di atas pada hari Sabtu sore minggu lalu, di Gereja Santo Antonius Kotabaru Yogyakarta ketika romo sedang melakukan homili. Pikiran saya kemana-mana, jadi jujur saja saya tidak mendengarkan homili romo dari awal sampai akhir dengan seksama. Tapi yang akhirnya menarik perhatian saya adalah, ketika di layar LCD muncul video clip milik Jogja Foundation yang berlatar belakang di New York. Mereka memakai kostum kemeja batik dan bernyanyi menggunakan bahasa jawa. Tampaknya sih, biasa saja. Tapi ketika kita menyimak benar lirik yang terdapat di lagu tersebut, saya bisa menarik inti dari kalimat, “Karya Laris, Seni Mati”
            Itu salah satu dari sekian banyak problematika yang sedang dihadapi bangsa kita, bukan? Banyak sekali contoh dari sekian banyak karya dari bidang musik, tulis, bahkan film yang mungkin hitungannya “banyak penggemar” tapi seninya nol—entah itu hasil copasan, hanya mengandalkan popularitas, modal wajah enak dipandangan, dan lain-lain. Dan saya yakin, bahwa diluar sana juga tidak sedikit orang-orang yang bahkan “ilfeel” atau tidak suka dengan karya tersebut.
~Musik : Banyak sekali boyband dan girlband indonesia yang muncul di televisi hanya bermodalkan wajah cantik/ganteng saja. Suaranya? Ya ngepas. Dancenya? Ya begitu saja. Padahal kalau ingin menjadi boyband dan girlband yang berkualitas dan tidak dibully oleh banyak orang, suara dan dance itu merupakan hal yang pokok. Sedihnya, yang lebih parah adalah boyband/girlband tersebut meniru lagu/gaya/ bahkan nama boyband tersebut diambil dari nama boyband luar negeri. Malu? Iya jelas. Ini bukan hanya pendapat saya saja, tapi juga nitizen-nitizen lain yang saya temui di media sosial, bahkan teman-teman dekat saya.
~Sinetron : Menurut saya, sinetron adalah cerita bersambung dengan durasi waktu tertentu (biasanya satu jam) yang panjangnya terdiri dari beberapa episode. Tapi bagaimana kalau panjangnya bisa mencapai beberapa ribu episode? Bagi saya, it’s okay jika panjangnya beribu-ribu tetapi ceritanya masih nyambung dan tidak keluar dari topik. Tapi mungkin salah satu alasan mengapa sinetron tersebut diperpanjang adalah—sinetron tersebut laris dan banyak penggemar, jadi untuk berlomba di pasaran, mereka memilih untuk memperpanjang episode. Jujur saya kurang setuju dengan ide seperti ini, karena semakin panjang episode yang dibuat terkadang bukan malah bertambah seru dan asyik—tapi malah berubah menjadi membosankan dan out of the topic. Dan saya juga ingat ketika salah satu sinetron di stasiun televisi kita masuk koran Korea Selatan karena dianggap meniru salah satu drama korea mereka. Dan lucunya, memang persis sekali.
~Film : Beberapa hari yang lalu ketika saya membuka LINE, perhatian saya langsung tertuju pada LINE today yang salah satu beritanya adalah beberapa poster film indonesia yang mirip dengan poster film luar negeri. Sebagian kecil ada yang hampir mirip, tapi sebagian besar memang benar-benar mirip. Dan lucunya, saya juga pernah menemukan film kita yang alur ceritanya mirip dengan film Thailand tapi saya enggan menyebutkan judulnya. Kenapa ya bisa terjadi seperti ini? padahal saya yakin lho, Indonesia itu banyak para manusia kreatif dan berbakat.
~Tulisan : Menulis itu susah lho. Perlu waktu satu bulan untuk menulis satu buah novel dan sebuah inspirasi. Sedangkan puisi? Kata Bapak saya, nulis puisi itu gampang. Karena memang tidak ada teorinya, dan hanya dengan modal banyak membaca. Tapi itu kata Bapak saya, bukan kata saya. Saya tahu perasaan kalian yang setiap kali menulis novel tapi tetap ditolak. (Haha) bahkan dulunya film Harry Potter dan Twilight pernah ditolak belasan kali. Jadi dapat disimpulkan, menjadi penulis itu harus sabar. Tapi ada cara mudah lho, agar karya kita langsung dimuat. Bagaimana caranya? Jadilah artis atau orang terkenal. Bahkan walaupun karyamu tak bagus-bagus amat, mereka akan siap selalu untuk menerbitkan karya kamu karena kamu terkenal. Dan otomatis, bila kamu terkenal pembeli bukumu pasti banyak sekali. Tapi tidak semua juga sih, salah satunya adalah Raditya Dika—karya beliau memang bagus dan sangat menarik.
            Suatu hari saya bertanya kepada Bapak saya, “Tulisan yang bagus itu seperti apa, Pak?” kemudian beliau menjawab, “Tulisan yang menarik itu adalah tulisan yang membuat pembaca menjadi penasaran, mempermainkan perasaan pembaca menjadi sedih, senang, kesaldan lain-lain. Tapi tulisan yang baik adalah tulisan yang menyelipkan makna disetiap tulisannya.” Dan saya ingat ketika saya berumur 13/14 tahun saya pernah menulis sebuah naskah sepanjang 280 halaman. Kalau saya baca lagi, mata saya sakit karena banyak EYD yang salah (ya, sekarang juga masih sih. Tapi saat itu lebih parah.) itu pertama kali saya nulis, dan saya baru sadar 280 halaman itu adalah tanpa makna.
            Jadi, itu adalah beberapa hal yang saya golongkan “Karya Laris, Seni Mati.” (karya saya nggak masuk, soalnya karyanya nggak laris dan seninya mati.) itu adalah pendapat saya dan orang-orang dekat saya. Dan jika kalian menemukan hal-hal lain yang juga masuk dalam kategori tersebut, mungkin ada baiknya jika kita prihatin dan mencoba untuk membuat karya yang lebih berseni, tapi juga laris dipasaran. J
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar