Senin, 04 Januari 2016

Eros Tak Pernah Punya Aturan

Hidup penuh dengan banyak hal.

Ruang. Jarak. Waktu. Rasa.

Ada rasa sakit, cinta, marah, semuanya dapat dicangkup dalam kisah hidup seseorang. Dari sekian rasa, ada sumber dari semua rasa ; Cinta. Sang Eros telah datang dan memberinya secara cuma-cuma kepada kita sang manusia.

Aku terbuat dari cinta. Cinta buta sepasang laki-laki dan perempuan--maksudku, kupikir semua orang berpikir cinta selalu punya aturan. Sepasang laki-laki dan perempuan berbeda keyakinan dilarang menjalin hubungan. Sepasang pasangan sejenis dilarang bersama karena melanggar aturan. Si miskin dilarang mencintai si kaya dan sebaliknya. Si popular dilarang mencintai si antisosial dan sebaliknya. Lantas siapa yang melarang dan berkata bila cinta punya aturan? Nyatanya cinta tak pernah punya aturan, begitu kata Sang Eros.

"Kamu terbuat dari nafsu, bukan cinta," gumam lelaki dengan senyum pecah di depanku sambil menghembuskan kepulan-kepulan asap yang ia dapat dari benda mematikan di antara sela-sela jarinya.

Aku mengernyit. Kafe ini sudah sepi sejak sejam yang lalu. Hanya ada beberapa orang yang lebih memilih menyendiri di tengah malam seperti ini dan membiarkan dirinya tenggelam bersama rembulan. Tapi aku malah memilih menghabiskan malam dengan mengobrol bersama lelaki jankung bermata sayu ditemani bintang-bintang. "Matikan rokokmu! Aku benci asap."

Lelaki itu menurutiku. Ia menghancurkan benda mematikan itu dari pucuknya. Sehingga apinya mati, asapnya hilang. "Sudah berapa hati kamu patahkan demi aku, Anjani?" lelaki itu seperti setengah mabuk, dan tersenyum tanpa makna menatapku.

"Kamu tak pernah percaya cinta, lantas mengapa tiba-tiba membahas tentang hati yang patah?" celotehku sehabis menyesap kopi pahitku yang kupesan sejak tadi. "Aku terbuat dari cinta. Aku percaya kedua orangtuaku kok. Tanpa cinta, aku nggak mungkin ada di sini. Kalau hanya nafsu, mengapa tak bunuh aku saja dari bayi? Atau embrio sekalian! Ha."

"Anjani, nyatanya banyak kasus seperti itu sekarang. Terserah apa yang kamu katakan. Yang jelas di sini aku, semalaman, mengobrol denganmu.. dan aku tak tahu yang aku lakukan ini dosa atau tidak."

Dosa atau tidak. Tanyanya.

Jarum jam berputar begitu cepat, melewati tengah malam, duduk di kafe sepi berhadapan. Aku menyangga wajahku dengan tangan kananku, menatap wajah Savio yang sayu--namun tetap menawan. Seperti beberapa tahun silam pertama kali aku bertemu dengannya. Dan seketika, aku seperti menghipnotisnya ketika sepasang mata kami bertemu dalam jarak dekat dan hanya bersekatkan meja kafe. Dan kini aku seperti membuatnya percaya akan cinta lagi.

"Kalau di dunia ini kita bebas mencintai, siapa yang kau pilih?" Tanya pria jangkung ini kepadaku. "Aku atau pacarmu, Anjani?"

Kupikir Savio telah tahu jawabannya, ia hanya mencobaiku. "Tergantung jawabanmu, aku atau tunanganmu?"

"Siapa yang mencintaiku terlebih dahulu, dan siapa yang ada dihadapanku adalah jawabannya." kata pria jangkung ini. Dan di malam ini, aku merasa telah mengungkapkan sebuah kejujuran yang berakhir dosa. Detak jantungku berdegup kencang ketika pria ini mendekatiku dan menyatukan sepasang bibir yang sedari tadi ingin bertemu. Atau mungkin belasan tahun yang lalu.

Lembut, tak penuh dengan paksa.

Hanya dua detik.

"Tapi sayangnya, itu jika dunia tak punya aturan Anjani," gumam Savio. "Nyatanya, dunia punya aturan. Ada banyak hati yang lebih pantas dapatkan hatimu. Kamu sudah punya pasangan, dan aku pun juga. Kamu hanya butuh ikhlas, kelak sang waktu akan membantu. Belajarlah mencintai yang layak dicintai dan yang seharusnya dicintai."

Lidahku kelu. Aku hanya membiarkan Savio menatap mataku dalam dan mencerna semua kata-katanya.

"Tuhan tahu kita saling mencinta," katanya. "Dan aku yakin dengan cara apa pun kita meminta, akan selalu sampai kepada orang yang kita cinta asal kita PERCAYA."

Dan semenjak itu aku tak pernah melihat Savio lagi, tapi kiriman doa-doa Savio lah yang aku rasakan setiap hari.
**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar