Selasa, 07 Juli 2015

La Douleur

Aku sesekali tertawa mendengar candaan Charlie.

Baru kali ini aku merasa setidaknya 'sedikit' dapat bernafas lega dan menghilangkan penat yang mengganggu pikiranku. Mungkin jiwaku sedang sedikit sakit, bahkan kadang aku mabuk layaknya kesetanan. Mungkin ini dampak negatifnya jika kau payah dalam hal meredakan dan mengontrol dirimu sendiri.

Di hari-hari kosongku, yang paling kubenci adalah memikirkan candu. Hari-hariku penuh dengan melakukan aktifitas yang sama dan tidak sehat setiap hari, aku kecanduan kafein, sesekali meneguk minuman keras yang disediakan Franklin tetangga apartemen sebelah. Atau jika aku sudah menyerah pada diriku, aku akan melakukan apa saja untuk setidaknya mencari sebuah morfin.

Inilah jeleknya. Tak bisa menenangkan diri sendiri, maka kuserahkan pada benda-benda mematikan itu. Franklin lebih tua dariku empat tahun, kepalanya plontos, lengannya bertato. Sekilas pria kelahiran Swedia itu malah terlihat seperti seorang preman. Tapi ternyata kau tidak bisa menilai seseorang hanya berdasarkan apa yang kau lihat, ia adalah pendengar yang baik--meski ia juga seorang pecandu, tapi ia tidak berhubungan tubuh dengan wanita-wanita bahkan wanita jalang. Itu prinsip hidupnya. Kerap kali aku menceritakan sesuatu yang selalu mengganjal benakku setiap hari, Franklin memang tak bisa memberikan nasihat, tetapi ia pendengar yang baik dan sekarang membuatku kecanduan morfin untuk meredakan rasa sakit.

Rasa sakit memang mengubahku. Mengubahku menjadi pecandu kafein, morfin, bahkan rindu. Terlalu menyakitkan dan menyekak di dada.

Ini aktivitas tak baik, jadi kali ini aku berusaha menyibukkan diriku dengan aktifitas yang nyata dan berguna. Sebelum akhirnya aku kehilangan diriku.

"Omong-omong aku tak melihatmu di pameran lukisan milik Charles Art kemarin sore," gumam Charlie, kami sedang duduk di deretan kursi depan ruangan kampus.

Aku mengernyitkan dahiku. "Oh, apakah acaranya kemarin?"

Aku fokus menatap Charlie yang sedang mengomel, namun konsentrasiku buyar dan seakan-akan tak mendengar segala sesuatu yang dibicarakan oleh Charlie ketika seseorang berjalan melewatiku.

Efek samping ganja?

Rambutnya nyaris terlihat tak pernah disisir atau bahkan orang itu mencuci rambutnya satu kali sebulan, wajahnya tidak menggambarkan warna-warni kehidupan. Sama sekali tidak cerah. Atau itu perasaanku saja?

Kuakui  semenjak aku beralih profesi sebagai 'pecandu' rindu, aku sama sekali tak mengenal warna warni pelangi. Ada sebagian dari diriku yang sama sekali enggan untuk merasakan. Bahkan hanya untuk menikmati suara kicauan burung-burung, warna-warni senja, bahkan angin yang bertiup sekali pun.

Aku mati rasa sebelum akhirnya sesuatu kembali lagi menyadarkan. Oh, tidak, ini tidak begitu terobati. Nadine yang malang... detak jantungku berdegup tak beraturan, ada sebuah rasa sakit dan rindu yang tak bisa kulukiskan dengan sebuah warna. Jika aku sedang kecanduan kafein, mungkin kali ini aku hanya bisa melihat orang-orang yang sedang meneguk kopi di dalam sebuah bar dengan dinding kaca menerawang--sedangkan keadaan di luar bar itu sedang turun salju.

Kuharap salju tak pernah turun, kuharap aku bukan seorang pecandu kafein.

Sebuah candu yang membuat mataku terus terbuka dan tak bisa terlelap di tengah malam, menyisakan kantong-kantong mata yang tak diharapkan dan mata merah layaknya seseorang yang kehilangan akal sehat.


 Kuharap candu-ku bukanlah seorang Napoleon. Candu-ku yang selalu ingin kusentuh. Mata hitam dan bintik-bintik coklat, semuanya nyaris terlihat sempurna tanpa cacat. Seorang pecandu selalu ingin dan ingin, orang-orang percaya ia akan kembali seperti normal ketika tak mendapatkan sebuah candu dan lupa tuk sementara. Namun pecandu tetaplah pecandu. Ia selalu ingin dan ingin. Apa pun caranya. Nyaris kesetanan. Nyaris kehilangan diri sendiri. Karena Nadine bukanlah Nadine, oh kau sudah menjadi seorang pecandu Nadine, sadarlah!

Mataku jelas tak bisa terkendali menatap candu, sesak dan pekat di dada tak pernah kuhiraukan. Rasa sakit memang sudah menjadi efek samping pecandu.

Oh kasih, kau hanya melangkah lewat, lalu kenapa semua itu terasa berharga tak seperti hari-hari yang lalu? Itu karena aku sudah berubah menjadi mati. Dan juga beralih profesi menjadi pecandu rindu.

Apalah arti sebuah rasa sakit, jika kau bahkan tak bisa merasakan telapak tanganmu sendiri. Coba pikirkan kalau begitu, apakah aku peduli sekelilingku ketika aku merasa sebagian dari diriku menginginkanmu?

Oh, aku hanya menginginkan kopiku. Percayalah. Beri aku kesempatan untuk masuk bar, maka aku tak lagi melukai diriku sendiri. Bahkan ketika kau bukanlah kau, ketika kau kira aku bukanlah aku. Ketika dibalik senyum seorang Nadine adalah pecandu yang gila, oh, astaga, apakah Napoleon akan peduli?

Kau berjalan tanpa mempedulikan apa yang kau lewati. Tanpa mempedulikan berapa banyak luka yang kau toreh. Tanpa mengerti seberapa air yang menetes. Kau harusnya mengerti bagaimana rasanya menjadi seorang pecandu, itu semua karena kau tak merasa!

Persetan, bagaimana bisa? Aku bahkan tak tahu bagaimana caranya merasa. Mungkin itu alasan mengapa semua terlihat kelabu di mataku.

Aku tak benci karena tak bisa merasa. Aku tak mencinta karena tak tahu bagaimana cara merasa. Aku tak merasakan sakit karena aku tak mengerti apa itu rasa. Semua itu karena obat penenang yang telah kukonsumsi sekian lama.

"Nadine!"

"NADINE!"

Itu suara Charlie. Aku bahkan tak mendengar. Atau aku pura-pura sebagai tuli.

Bibir merah jambu dan sebuah kumis tipis. Kau lupa bercukur lagi? Ada bayang-bayang di mana seorang Nadine mengecup bibir merah  jambu milik Napoleon. Atau bahkan sekedar menyentuh rambut. Atau... memeluk Napoleon? Yang ada kau hanya membisikan kata-kata mematikan.

Darahku masih mengalir. Aku tahu.

Tak kusangka, kau terus membiarkanku menjadi seorang pecandu. Ini lebih buruk dari yang kukira karena efek sampingnya membuat seorang Nadine melukai dirinya sendiri. Aku bahkan nyaris kehilangan diriku.

Sampai kapan kau membiarkanku menjadi seorang pecandu gila? Aku memang tak pernah kehilanganmu, Candu-ku, karena aku pecandu, namun aku hanya--"Seakan-akan." Itu sebabnya candu tak pernah datang. Karena itu kau tak pernah hilang. Tapi buruknya, aku malah kehilangan diriku.

Wajahmu menghilang dari pandangan, kau sama sekali tak menoleh. Bagus. Aku tak mau mengakui bahwa aku seorang pecandu. Tapi sekarang aku merasa darahku telah mengalir kembali, aku bisa merasakan sesak, penat, dan pekat. Sakit, sekali. Aku sudah bisa merasa, aku bukan pecandu lagi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar